Di Sumatera Utara terdapat danau yang sangat besar dan ditengah-tengah danau tersebut terdapat sebuah pulau. Danau itu bernama Danau Toba sedangkan pulau ditengahnya dinamakan Pulau Samosir. Konon danau tersebut berasal dari kutukan dewa.
Alkisah, di wilayah Sumatera hiduplah seorang petani yang sangat rajin bekerja. Ia hidup sendiri sebatang kara. Setiap hari ia bekerja menggarap lading dan mencari ikan dengan tidak mengenal lelah. Hal ini dilakukannya untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Pada suatu hari petani tersebut pergi ke sungai di dekat tempat tinggalnya, ia bermaksud mencari ikan untuk lauknya hari ini. Dengan hanya berbekal sebuah kail, umpan dan tempat ikan, ia pun langsung menuju ke sungai. Setelah sesampainya di sungai, petani tersebut langsung melemparkan kailnya. Sambil menunggu kailnya dimakan ikan, petani tersebut berdoa,“Ya Alloh, semoga aku dapat ikan banyak hari ini”. Beberapa saat setelah berdoa, kail yang dilemparkannya tadi nampak bergoyang-goyang. Ia segera menarik kailnya. Petani tersebut sangat senang sekali, karena ikan yang didapatkannya sangat besar dan cantik sekali.
Setelah beberapa saat memandangi ikan hasil tangkapannya, petani itu sangat terkejut. Ternyata ikan yang ditangkapnya itu bisa berbicara. “Tolong aku jangan dimakan Pak!! Biarkan aku hidup”, teriak ikan itu. Tanpa banyak Tanya, ikan tangkapannya itu langsung dikembalikan ke dalam air lagi. Setelah mengembalikan ikan ke dalam air, petani itu bertambah terkejut, karena tiba-tiba ikan tersebut berubah menjadi seorang wanita yang sangat cantik.
“Jangan takut Pak, aku tidak akan menyakiti kamu”, kata si ikan. “Siapakah kamu ini? Bukankah kamu seekor ikan?, Tanya petani itu. “Aku adalah seorang putri yang dikutuk, karena melanggar aturan kerajaan”, jawab wanita itu. “Terimakasih engkau sudah membebaskan aku dari kutukan itu, dan sebagai imbalannya aku bersedia kau jadikan istri”, kata wanita itu. Petani itupun setuju. Maka jadilah mereka sebagai suami istri. Namun, ada satu janji yang telah disepakati, yaitu mereka tidak boleh menceritakan bahwa asal-usul Puteri dari seekor ikan. Jika janji itu dilanggar maka akan terjadi petaka dahsyat.
Setelah beberapa lama mereka menikah, akhirnya kebahagiaan Petani dan istrinya bertambah, karena istri Petani melahirkan seorang bayi laki-laki. Anak mereka tumbuh menjadi anak yang sangat tampan dan kuat, tetapi ada kebiasaan yang membuat heran semua orang. Anak tersebut selalu merasa lapar, dan tidak pernah merasa kenyang. Semua jatah makanan dilahapnya tanpa sisa.
Hingga suatu hari anak petani tersebut mendapat tugas dari ibunya untuk mengantarkan makanan dan minuman ke sawah di mana ayahnya sedang bekerja. Tetapi tugasnya tidak dipenuhinya. Semua makanan yang seharusnya untuk ayahnya dilahap habis, dan setelah itu dia tertidur di sebuah gubug. Pak tani menunggu kedatangan anaknya, sambil menahan haus dan lapar. Karena tidak tahan menahan lapar, maka ia langsung pulang ke rumah. Di tengah perjalanan pulang, pak tani melihat anaknya sedang tidur di gubug. Petani tersebut langsung membangunkannya. “Hey, bangun!, teriak petani itu.
Setelah anaknya terbangun, petani itu langsung menanyakan makanannya. “Mana makanan buat ayah?”, Tanya petani. “Sudah habis kumakan”, jawab si anak. Dengan nada tinggi petani itu langsung memarahi anaknya. "Anak tidak tau diuntung ! Tak tahu diri! Dasar anak ikan!," umpat si Petani tanpa sadar telah mengucapkan kata pantangan dari istrinya.
Setelah petani mengucapkan kata-kata tersebut, seketika itu juga anak dan istrinya hilang lenyap tanpa bekas dan jejak. Dari bekas injakan kakinya, tiba-tiba menyemblah air yang sangat deras. Air meluap sangat tinggi dan luas sehingga membentuk sebuah telaga. Dan akhirnya membentuk sebuah danau. Danau itu akhirnya dikenal dengan nama Danau Toba. edangkan pulau kecil di tengahnya urdikenal dengan nama Pulau Samosir.
Si Malin Kundang
Pada suatu waktu, di desa terpencil ada sebuah keluarga nelayan di pesisir pantai wilayah Sumatera Barat. Karena kondisi keuangan keluarga memprihatinkan, sang Ayah memutuskan untuk mencari nafkah di negeri seberang dengan mengarungi lautan yang luas. Ayah Malin tidak pernah kembali ke kampung halamannya sehingga ibunya harus menggantikan posisi ayah Malin untuk mencari nafkah.
Malin termasuk anak yang cerdas tetapi sedikit nakal. Ia sering mengejar ayam dan memukulnya dengan sapu. Suatu hari ketika Malin sedang mengejar ayam, ia tersandung batu dan lengan kanannya luka terkena batu. Luka tersebut menjadi berbekas dilengannya dan tidak bisa hilang.
Karena merasa kasihan dengan ibunya yang banting tulang mencari nafkah untuk membesarkan dirinya. Malin memutuskan untuk pergi merantau agar dapat menjadi kaya raya setelah kembali ke kampung halaman kelak.
Awalnya Ibu Malin Kundang kurang setuju, mengingat suaminya juga tidak pernah kembali setelah pergi merantau tetapi Malin tetap bersikeras sehingga akhirnya dia rela melepas Malin pergi merantau dengan menumpang kapal seorang saudagar. Selama berada di kapal, Malin Kundang banyak belajar tentang ilmu pelayaran pada anak buah kapal yang sudah berpengalaman.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba kapal yang dinaiki Malin Kundang di serang oleh bajak laut. Semua barang dagangan para pedagang yang berada di kapal dirampas oleh bajak laut. Bahkan sebagian besar awak kapal dan orang yang berada di kapal tersebut dibunuh oleh para bajak laut. Malin Kundang beruntung, dia sempat bersembunyi di sebuah ruang kecil yang tertutup oleh kayu sehingga tidak dibunuh oleh para bajak laut.
Malin Kundang terkatung-katung di tengah laut, hingga akhirnya kapal yang ditumpanginya terdampar di sebuah pantai. Dengan tenaga yang tersisa, Malin Kundang berjalan menuju ke desa yang terdekat dari pantai. Desa tempat Malin terdampar adalah desa yang sangat subur. Dengan keuletan dan kegigihannya dalam bekerja, Malin lama kelamaan berhasil menjadi seorang yang kaya raya. Ia memiliki banyak kapal dagang dengan anak buah yang jumlahnya lebih dari 100 orang. Setelah menjadi kaya raya, Malin Kundang mempersunting seorang gadis untuk menjadi istrinya.
Berita Malin Kundang yang telah menjadi kaya raya dan telah menikah sampai juga kepada ibu Malin Kundang. Ibu Malin Kundang merasa bersyukur dan sangat gembira anaknya telah berhasil. Sejak saat itu, ibu Malin setiap hari pergi ke dermaga, menantikan anaknya yang mungkin pulang ke kampung halamannya. Setelah beberapa lama menikah, Malin dan istrinya melakukan pelayaran disertai anak buah kapal serta pengawalnya yang banyak. Ibu Malin yang melihat kedatangan kapal itu ke dermaga melihat ada dua orang yang sedang berdiri di atas geladak kapal. Ia yakin kalau yang sedang berdiri itu adalah anaknya, Malin Kundang beserta istrinya.
Ibu Malin pun menuju ke arah kapal. Setelah cukup dekat, ibunya melihat bekas luka dilengan kanan orang tersebut, semakin yakinlah ibunya bahwa yang ia dekati adalah Malin Kundang. "Malin Kundang, anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan kabar?", katanya sambil memeluk Malin Kundang. Tetapi melihat wanita tua yang berpakaian lusuh dan kotor memeluknya, Malin Kundang menjadi marah meskipun ia mengetahui bahwa wanita tua itu adalah ibunya, karena dia malu bila hal ini diketahui oleh istrinya dan juga anak buahnya. Mendapat perlakukan seperti itu dari anaknya, ibu Malin Kundang sangat marah. Ia tidak menduga anaknya menjadi anak durhaka. Tidak berapa lama kemudian Malin Kundang kembali pergi berlayar dan di tengah perjalanan datang badai dahsyat menghancurkan kapal Malin Kundang. Ditengah kekacauan itu, diwaktu yang sama dan tempat yang lain ibu Malin Kundang sedang berdoa. Karena kemarahannya yang memuncak, ia pun berteriak "Tuhan! Jika benar ia Malin anakku, KUKUTUK DIA JADI BATU!"
Tepat setelah itu tubuh Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu karang. Sampai saat ini Batu Malin Kundang masih dapat dilihat di sebuah pantai bernama pantai Air Manis, di selatan kota Padang, Sumatera Barat.
Asal Usul Gunung Tangkuban Perahu
Diceritakan bahwa Raja Sungging Perbangkara pergi berburu. Di tengah hutan Sang Raja membuang air seni yang tertampung dalam daun caring (keladi hutan). Seekor babi hutan betina bernama Wayungyang yang tengah bertapa ingin menjadi manusia meminum air seni tadi. Wayungyang hamil dan melahirkan seorang bayi cantik. Bayi cantik itu dibawa ke keraton oleh ayahnya dan diberi nama Dayang Sumbi alias Rarasati.
Dayang Sumbi sangat cantik dan cerdas, banyak para raja yang meminangnya, tetapi seorang pun tidak ada yang diterima. Akhirnya para raja saling berperang di antara sesamanya. Galau hati Dayang Sumbi melihat kekacauan yang bersumber dari dirinya. Atas permitaannya sendiri Dayang Sumbi mengasingkan diri di sebuah bukit ditemani seekor anjing jantan yaitu Si Tumang. Ketika sedang asyik bertenun, toropong (torak) yang tengah digunakan bertenun kain terjatuh ke bawah. Dayang Sumbi karena merasa malas, terlontar ucapan tanpa dipikir dulu, dia berjanji siapa pun yang mengambilkan torak yang terjatuh bila berjenis kelamin laki-laki, akan dijadikan suaminya. Si Tumang mengambilkan torak dan diberikan kepada Dayang Sumbi.
Dayang Sumbi pun menikahi Si Tumang dan dikaruniai bayi laki-laki yang diberi nama Sangkuriang. Sangkuriang memiliki kekuatan sakti seperti ayahnya. Dalam masa pertumbuhannya, Sangkuring selalu ditemani bermain oleh Si Tumang yang yang dia ketahui hanya sebagai anjing yang setia, bukan sebagai ayahnya. Sangkuriang tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan, gagah perkasa dan sakti.
Pada suatu hari Sangkuriang berburu di dalam hutan disuruhnya Si Tumang untuk mengejar babi betina yang bernama Wayungyang. Karena si Tumang tidak menurut, Sangkuriang marah dan membunuh Si Tumang. Daging Si Tumang oleh Sangkuriang diberikan kepada Dayang Sumbi, lalu dimasak dan dimakannya. Setelah Dayang Sumbi mengetahui bahwa yang dimakannya adalah Si Tumang, kemarahannya pun memuncak serta merta kepala Sangkuriang dipukul dengan senduk yang terbuat dari tempurung kelapa sehingga luka dan diusirlah Sangkuriang.
Sangkuriang pergi mengembara mengelilingi dunia. Setelah sekian lama berjalan ke arah timur akhirnya sampailah di arah barat lagi dan tanpa sadar telah tiba kembali di tempat Dayang Sumbi, tempat ibunya berada. Sangkuriang tidak mengenal bahwa putri cantik yang ditemukannya adalah Dayang Sumbi – ibunya, begitu juga sebaliknya. Terjalinlah kisah kasih di antara kedua insan itu. Tanpa sengaja Dayang Sumbi mengetahui bahwa Sangkuriang adalah puteranya, dengan tanda luka di kepalanya.
Dayang Sumbi pun berusaha menjelaskan kesalahpahaman hubungan mereka. Walau demikian, Sangkuriang tetap memaksa untuk menikahinya. Dayang Sumbi meminta agar Sangkuriang membuatkan perahu dan telaga (danau) dalam waktu semalam dengan membendung sungai Citarum. Sangkuriang menyanggupinya.
Maka dibuatlah perahu dari sebuah pohon yang tumbuh di arah timur, tunggul/pokok pohon itu berubah menjadi gunung ukit Tanggul. Rantingnya ditumpukkan di sebelah barat dan mejadi Gunung Burangrang. Dengan bantuan para guriang, bendungan pun hampir selesai dikerjakan. Tetapi Dayang Sumbi bermohon kepada Sang Hyang Tunggal agar maksud Sangkuriang tidak terwujud. Dayang Sumbi menebarkan irisan boeh rarang (kain putih hasil tenunannya), ketika itu pula fajar pun merekah di ufuk timur. Sangkuriang menjadi gusar, dipuncak kemarahannya, bendungan yang berada di Sanghyang Tikoro dijebolnya, sumbat aliran sungai Citarum dilemparkannya ke arah timur dan menjelma menjadi Gunung Manglayang. Air Talaga Bandung pun menjadi surut kembali. Perahu yang dikerjakan dengan bersusah payah ditendangnya ke arah utara dan berubah wujud menjadi Gunung Tangkuban Perahu.
Sangkuriang terus mengejar Dayang Sumbi yang mendadak menghilang di Gunung Putri dan berubah menjadi setangkai unga jaksi. Adapun Sangkuriang setelah sampai di sebuah tempat yang disebut dengan Ujung berung akhirnya menghilang ke alam gaib.
Asal Usul Rawa Pening
Pada zaman dahulu di desa Ngasem hidup seorang gadis bernama Endang Sawitri. Penduduk desa tak seorang pun yang tahu kalau Endang Sawitri punya seorang suami, namun ia hamil. Tak lama kemudian ia melahirkan dan sangat mengejutkan penduduk karena yang dilahirkan bukan seorang bayi melainkan seekor Naga. Anehnya Naga itu bisa berbicara seperti halnya manusia. Naga itu diberi nama Baru Klinting.
Di usia remaja Baru Klinting bertanya kepada ibunya. Bu, “Apakah saya ini juga mempunyai Ayah?, siapa ayah sebenarnya”. Ibu menjawab, “Ayahmu seorang raja yang saat ini sedang bertapa di gua lereng gunung Telomaya. Kamu sudah waktunya mencari dan menemui bapakmu. Saya ijinkan kamu ke sana dan bawalah klintingan ini sebagai bukti peninggalan ayahmu dulu. Dengan senang hati Baru Klinting berangkat ke pertapaan Ki Hajar Salokantara sang ayahnya.
Sampai di pertapaan Baru Klinting masuk ke gua dengan hormat, di depan Ki Hajar dan bertanya, “Apakah benar ini tempat pertapaan Ki Hajar Salokantara?” Kemudian Ki Hajar menjawab, “Ya, benar”, saya Ki Hajar Salokantara. Dengan sembah sujud di hadapan Ki Hajar, Baru Klinting mengatakan berarti Ki Hajar adalah orang tuaku yang sudah lama aku cari-cari, aku anak dari Endang Sawitri dari desa Ngasem dan ini Klintingan yang konon kata ibu peninggalan Ki Hajar. Ya benar, dengan bukti Klintingan itu kata Ki Hajar. Namun aku perlu bukti satu lagi kalau memang kamu anakku coba kamu melingkari gunung Telomoyo ini, kalau bisa, kamu benar-benar anakku. Ternyata Baru Klinting bisa melingkarinya dan Ki Hajar mengakui kalau ia benar anaknya. Ki Hajar kemudian memerintahkan Baru Klinting untuk bertapa di dalam hutan lereng gunung.
Suatu hari penduduk desa Pathok mau mengadakan pesta sedekah bumi setelah panen usai. Mereka akan mengadakan pertunjukkan berbagai macam tarian. Untuk memeriahkan pesta itu rakyat beramai-ramai mencari hewan, namun tidak mendapatkan seekor hewan pun. Akhirnya mereka menemukan seekor Naga besar yang bertapa langsung dipotong-potong, dagingnya dibawa pulang untuk pesta. Dalam acara pesta itu datanglah seorang anak jelmaan Baru Klinting ikut dalam keramaian itu dan ingin menikmati hidangan. Dengan sikap acuh dan sinis mereka mengusir anak itu dari pesta dengan paksa karena dianggap pengemis yang menjijikkan dan memalukan. Dengan sakit hati anak itu pergi meninggalkan pesta. Ia bertemu dengan seorang nenek janda tua yang baik hati. Diajaknya mampir ke rumahnya. Janda tua itu memperlakukan anak seperti tamu dihormati dan disiapkan hidangan. Di rumah janda tua, anak berpesan, Nek, “Kalau terdengar suara gemuruh nenek harus siapkan lesung, agar selamat!”. Nenek menuruti saran anak itu.
Sesaat kemudian anak itu kembali ke pesta mencoba ikut dan meminta hidangan dalam pesta yang diadakan oleh penduduk desa. Namun warga tetap tidak menerima anak itu, bahkan ditendang agar pergi dari tempat pesta itu. Dengan kemarahan hati anak itu mengadakan sayembara. Ia menancapkan lidi ke tanah, siapa penduduk desa ini yang bisa mencabutnya. Tak satu pun warga desa yang mampu mencabut lidi itu. Akhirnya anak itu sendiri yang mencabutnya, ternyata lubang tancapan tadi muncul mata air yang deras makin membesar dan menggenangi desa itu, penduduk semua tenggelam, kecuali Janda Tua yang masuk lesung dan dapat selamat, semua desa menjadi rawa-rawa, karena airnya sangat bening, maka disebutlah “Rawa Pening” yang berada di kabupaten Semarang, JawaTengah.
(dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar