Rumah tradisional suku Aceh dinamakan Rumoh Aceh. Rumah adat
ini bertipe rumah panggung dengan 3 bagian utama dan 1 bagian tambahan. Tiga
bagian utama dari rumah Aceh yaitu seuramoë keuë (serambi depan), seuramoë
teungoh (serambi tengah) dan seuramoë likôt (serambi belakang). Sedangkan 1
bagian tambahannya yaitu rumoh dapu (rumah dapur).
Dalam bidang seni rupa yang menonjol adalah arsitektur rumahadat di Indonesia yang satu ini merupakan perpaduan dari hasil seni pahat dan seni ukir serta hasil
seni kerajinan. Arsitektur rumah adat terdapat dalam berbagai bentuk
ornamen.Pada umumnya bentuk bangunan rumah adat pada kelompok adat batak
melambangkan "kerbau berdiri tegak". Hal ini lebih jelas lagi dengan
menghias pucuk atap dengan kepala kerbau. Rumah adat suku bangsa Batak bernama
Ruma Batak. Berdiri kokoh dan megah dan masih banyak ditemui di Samosir.
Rumah adat Sumatera Barat khususnya dari etnis Minangkabau
disebut Rumah Gadang. Rumah Gadang biasanya dibangun diatas sebidang tanah
milik keluarga induk dalam suku/kaum tersebut secara turun temurun. Tidak jauh
dari komplek rumah gadang tersebut biasanya juga dibangun sebuah surau kaum
yang berfungsi sebagai tempat ibadah dan tempat tinggal lelaki dewasa kaum
tersebut namun belum menikah.
Balai salaso jatuh adalah bangunan seperti rumah adat tapi
fungsinya bukan untuk tempat tinggal melainkan untuk musyawarah atau rapat
secara adat. Sesuai dengan fungsinya bangunan ini mempunyai macam-macam nama
antara lain : Balairung Sari, Balai Penobatan, Balai Kerapatan dan lain-lain.
Bangunan tersebut kini tidak ada lagi, didesa-desa tempat musyawarah dilakukan
di rumah Penghulu, sedangkan yang menyangklut keagamaan dilakukan di masjid.
Ciri - ciri Balai Salaso Jatuh mempunyai selasar keliling yang lantainya lebih
rendah dari ruang tengah, karena itu dikatakan Salaso Jatuh. Semua bangunan
baik rumah adat maupun balai adat diberi hiasan terutama berupa ukira.
Rumah Limas merupakan prototipe rumah
tradisional Palembang. Selain ditandai dengan atapnya yang berbentuk limas,
rumah tradisional ini memiliki lantai bertingkat tingkat yang disebut Bengkilas
dan hanya dipergunakan untuk kepentingan keluarga seperti hajatan. Para tamu
biasanya diterima diteras atau lantai kedua. Kebanyakan rumah limas luasnya
mencapai 400 sampai 1000 meter persegi atau lebih, yang didirikan diatas
tiang-tiang dari kayu unglen atau ulin yang kuat dan tanah air.Dinding, pintu
dan lantai umumnya terbuat dari kayu tembesu. Sedang untuk rangka digunakan
kayu seru. Setiap rumah terutama dinding dan pintu diberi ukiran. Saat ini
rumah limas sudah mulai jarang dibangun karena biaya pembuatannya lebih besar
dibandingkan membangun rumah biasa. Hampir ditiap pelosok kota Palembang terdapat
rumah limas yang umumnya sudah tua, termasuk sebuah rumah limas di museum
Balaputra Dewa
Rumah Kebaya merupakan rumah adat betawi dengan bentuk atap
perisai landai yang diteruskan dengan atap pelana yang lebih landai, terutama
pada bagian teras. Bangunannya ada yang berbentuk rumah paggung dan ada pula
yang menapak di atas tanah dengan lantai yang ditinggikan. Masyarakat betawi
lama memiliki adat untuk membuat sumur di halaman depan rumah dan mengebumikan
keluarga yang meninggal di halaman samping kanan rumah. Saya belum mendapat informasi
mengapa rumah ini disebut rumah Kebaya. Keunikannya terletak pada lisplank
rumah kebaya berupa papan yang diukir dengan ornamen segitiga berjajar yang
diberi nama ’gigi balang’. Di bagian tengah sebagai ruang tinggal dibatasi
dinding tertutup, di luarnya merupakan terasi-teras terbuka yang dikelilingi
pagar karawang rendah. Dinding bagian depan biasanya dibuat dari panil-panil
yang dapat dilepas saat pemilik rumah menyelenggarakan acara yang membutuhkan
ruang lebih luas. Tiang-tiang rumah lebih tampak jelas di bagian teras, berdiri
di atas lantai yang agak naik dari ketinggian tanah di halaman. Terdapat tangga
pendek dari batu-bata atau kayu untuk mencapai teras rumah. Menurut informasi
yang didapatkan, rumah ini telah terancam punah.
Joglo adalah rumah adat masyarakat Jawa, terdiri dari 2
bagian utama yakni Pendapa dan dalem. Bagaian pendapa adalah bagian depan Joglo
yang mempunyai ruangan luas tanpa sekat-sekat, biasanya digunakan untuk
menerima tamu atau ruang bermain anak dan tempat bersantai keluarga. Bagian
dalem adalah bagian dalam rumah yang berupa ruangan kamar, ruang kamar dan
ruangan lainnya yang bersifat lebih privasi. Ciri-ciri bangunan adalah pada
bagian atap Pendapanya yang menjulang tinggi seperti gunung.
Rumah Lamin berbentuk panggung setinggi 3 meter dari tanah
dan dihui 25 hingga 30 kepala keluarga. Ujung atap rumah ini diberi hiasan
kepala naga sebagai simbol keagungan, budi luhur, dan kepahlawanan. Halaman
rumahnya diisi oleh patung-patung Blontang yang menggambarkan dewa-dewa sebagai
penjaga rumah atau kampung. Rumah Lamin terbagi atas ruangan dapur, tidur, dan
ruangan tengah guna menerima tamu atau pertemuan adat. Tangga untuk naik ke
dalam rumah terbuat dari kayu pohon. Bentuk tangga
ini tidak berbeda antara rumah para bangsawan dan rakyat biasa. Dinding rumah
lamin terbuat dari kayu yang diselingi daun rumbia. Sementara itu, kolong rumah
panggung ini digunakan untuk memilihara ternak.
Rumah Banjar adalah rumah tradisional suku Banjar.
Arsitektur tradisional ciri-cirinya antara lain memiliki perlambang, memiliki
penekanan pada atap, ornamental, dekoratif dan simetris. rumah tradisional
Banjar dibangun dengan ber-anjung (ba-anjung) yaitu sayap bangunan yang
menjorok dari samping kanan dan kiri bangunan utama karena itu disebut Rumah
Baanjung. Anjung merupakan ciri khas rumah tradisional Banjar, walaupun ada
pula beberapa type Rumah Banjar yang tidak ber-anjung. Tipe rumah yang paling
bernilai tinggi adalah Rumah Bubungan Tinggi yang diperuntukan untuk bangunan
Dalam Sultan (kedaton) yang diberi nama Dalam Sirap. Jadi nilainya sama dengan
rumah joglo di Jawa yang dipakai sebagai kedaton (istana kediaman Sultan). Keagungan
seorang penguasa pada masa pemerintahan kerajaan diukur oleh kuantitas ukuran
dan kualitas seni serta kemegahan bangunan-bangunan kerajaan khususnya istana
raja (Rumah Bubungan Tinggi). Dalam suatu perkampungan suku Banjar terdiri dari
bermacam-macam jenis rumah Banjar yang mencerminkan status sosial maupun status
ekonomi sang pemilik rumah. Dalam kampung tersebut rumah dibangun dengan pola
linier mengikuti arah aliran sungai maupun jalan raya terdiri dari rumah yang
dibangun mengapung di atas air, rumah yang didirikan di atas sungai maupun
rumah yang didirikan di daratan, baik pada lahan basah (alluvial) maupun lahan
kering.
Tongkonan adalah rumah adat dengan ciri rumah panggung dari
kayu dimana kolong di bawah rumah biasanya dipakai sebagai kandang kerbau.
Atapnya rumah tongkonan dilapisi ijuk hitam dan bentuknya melengkung persis
seperti perahu telungkup dengan buritan. Ada juga yang mengatakan bentuknya
seperti tanduk kerbau. Sekilas mirip bangunan rumah gadang di Minang atau Batak. Semua rumah tongkonan
yang berdiri berjejer akan mengarah ke utara. Arah tongkonan yang menghadap ke utara serta ujung atap yang runcing ke
atas melambangkan leluhur mereka yang berasal dari utara. Ketika nanti
meninggal mereka akan berkumpul bersama arwah leluhurnya di utara. Berdasarkan
penelitian arkeologis, orang Toraja berasal dari Yunan, Teluk Tongkin, Cina.
Pendatang dari Cina ini kemudian berakulturasi dengan penduduk asli Sulawesi
Selatan. Kata tana artinya negeri, sedangkan kata toraja berasal dua kata yaitu
tau (orang) dan maraya (orang besar atau bangsawan). Kemudian penggabungan
kata-kata tesebut bermakna tempat bermukimnya suku Toraja atau berikutnya
dikenal sebagai Tana Toraja.
Rumah adat ini memiliki dua nama yaitu Malige atau Kamali.
Hanya rumah raja/sultan saya yang memiliki nama, sedangkan rumah masyarakat
lainnya biasanya disebut Rumah Buton. Di Kerajaan/Kesultanan Buton, setiap
raja/sultan yang menjabat akan membangun istananya sendiri. Dikatakan Kamali,
jika dirumah tersebut ditinggali raja/sultan bersama permaisuri (istri
pertama). Sedangkan sebutan Malige sebenarnya julukan salah seorang Sultan
Buton yang saat itu menjabat. Karena dirumahnya saat itu tidak ditinggali
permaisuri (permaisuri tinggal di istana lain), maka nama istananya mengikuti
julukan sang sultan yang artinya maligai. Namun, nama Malige lebih sering
digunakan untuk nama rumah adat ini karena diantara semua istana dan rumah,
Malige-lah yang paling besar. Sampai saat ini, baik istana maupun rumah adat
masih dapat dijumpai di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara. Bila diamati dengan
lebih seksama, rumah adat ini seakan-akan terdiri dari bagian kepala, badan,
dan kaki yang sarat dengan falsafah orang Buton. Masyarakat Buton memiliki
tradisi memberi lubang rahasia pada kayu terbaiknya untuk diberi emas dan
menandakan lubang rahasia tersebut sebagai pusar yang merupakan titik central
tubuh manusia. Emas tersebut sebagai perlambang bahwa sebuah rumah memiliki
hati dan bagi adat Buton, hati adalah laksana intan pada manusia. Keunikan dari
rumah ini ialah sama sekali tidak menggunakan paku namun bisa tetap kokoh
berdiri empat lantai. Pada zaman dulu, orang Buton jika akan pindahan, mereka
turut membawa rumah mereka sebab rumah adat Buton ini seperti permainan bongkar
pasang. Di atas atap, terdapat ukiran nanas dan naga yang merupakan lambang
kerajaan dan kesultanan Buton. Keunikan lainnya ialah rumah ini tahan gempa.
Rumah adat Papua atau yang dahulu bernama Irian Jaya ini
cukup unik disebut Honai . Atapnya berbentuk seperti setengah tempurung kelapa serta bahan
yang digunakan pun diperoleh dari alam sekitar, yaitu kayu dan jerami. Rumah
Honai terbuat dari kayu dengan atap berbentuk kerucut yang terbuat dari jerami
atau ilalang. Honai sengaja dibangun sempit atau kecil dan tidak berjendela
yang bertujuan untuk menahan hawa dingin pegunungan Papua. Honai biasanya
dibangun setinggi 2,5 meter dan pada bagian tengah rumah disiapkan tempat untuk
membuat api unggun untuk menghangatkan diri. Rumah Honai terbagi dalam tiga
tipe, yaitu untuk kaum laki-laki (disebut Honai), wanita (disebut Ebei), dan
kandang babi (disebut Wamai). Rumah Honai biasa ditinggali oleh 5 hingga 10
orang. Rumah Honai dalam satu bangunan digunakan untuk tempat beristirahat
(tidur), bangunan lainnya untuk tempat makan bersama, dan bangunan ketiga untuk
kandang ternak. Rumah Honai pada umumnya terbagi menjadi dua tingkat. Lantai
dasar dan lantai satu dihubungkan dengan tangga dari bambu. Para pria tidur
pada lantai dasar secara melingkar, sementara para wanita tidur di lantai satu.
Keanekaragaman budaya,salah satunya rumah adat di Indonesia hendaknya perlu dijaga kelestariannya. Kitalah yang harusnya menjaga dan melestarikannya agar tidak punah.
Keanekaragaman budaya,salah satunya rumah adat di Indonesia hendaknya perlu dijaga kelestariannya. Kitalah yang harusnya menjaga dan melestarikannya agar tidak punah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar