Tata Cara / Panduan Shalat Gerhana - Shalat gerhana dalam bahasa arab sering disebut dengan
istilah khusuf (الخسوف) dan juga kusuf (الكسوف) sekaligus. Secara bahasa, kedua
istilah itu sebenarnya punya makna yang sama. Shalat gerhana matahari dan
gerhana bulan sama-sama disebut dengan kusuf dan juga khusuf sekaligus. Jika
seseorang menyaksikan gerhana, hendaklah ia melaksanakan shalat gerhana.
Dalil-dalil disyariatkannya dengan sholat kusuf (gerhana)
Yang pertama, Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Mas’ud Al
Anshary :
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ رضي الله عنه قَالَ :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( إِنَّ الشَّمْسَ
وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ يُخَوِّفُ اللَّهُ بِهِمَا عِبَادَهُ ،
وَإِنَّهُمَا لَا يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ مِنْ النَّاسِ ، فَإِذَا
رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا فَصَلُّوا وَادْعُوا اللَّهَ حَتَّى يُكْشَفَ مَا
بِكُم ).
“Sesungguhnya matahari dan bulan itu merupakan dua tanda
diantara tanda-tanda kekuasaan Allah. Allah menjadikan keduanya untuk
menakut-nakuti hamba-hamba-Nya. Dan sungguh tidaklah keduanya terjadi gerhana
karena kematian atau kelahiran seorang manusia pun. Apabila kalian melihat
sebagian dari gerhana tersebut, maka sholatlah dan berdo’alah kepada Allah
hingga gerhana tersebut hilang dari kalian” (HR. Bukhari no. 1041, Muslim no.
911).
Yang kedua, hadits dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu :
عَنْ أَبِي مُوسَى رضي الله عنه قَالَ : خَسَفَتْ الشَّمْسُ
فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَزِعًا يَخْشَى أَنْ
تَكُونَ السَّاعَةُ ، فَأَتَى الْمَسْجِدَ فَصَلَّى بِأَطْوَلِ قِيَامٍ وَرُكُوعٍ
وَسُجُودٍ رَأَيْتُهُ قَطُّ يَفْعَلُهُ ، وَقَالَ : (هَذِهِ الْآيَاتُ الَّتِي
يُرْسِلُ اللَّهُ لَا تَكُونُ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ وَلَكِنْ
يُخَوِّفُ اللَّهُ بِهِ عِبَادَهُ ؛ فَإِذَا رَأَيْتُمْ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ
فَافْزَعُوا إِلَى ذِكْرِهِ وَدُعَائِهِ وَاسْتِغْفَارِهِ)
“Ketika terjadi gerhana matahari, Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam lantas berdiri takut karena khawatir akan terjadinya hari kiamat,
sehingga Beliau mendatangi masjid kemudian shalat dengan berdiri, ruku’, dan
sujud yang begitu lama. Aku belum pernah melihat Beliau melakukan shalat
sedemikian itu. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Sesungguhnya ini adalah tanda-tanda kekuasaan Allah yang ditunjukkan-Nya,
gerhana tersebut tidaklah terjadi karena kematian atau hidupnya seseorang.
Tetapi Allah menjadikan yang demikian untuk menakut-nakuti hamba-hamba-Nya.
Apabila kalia melihat sebagian dari gerhana tersebut, maka bersegeralah untuk
berdzikir, berdo’a dan memohon ampunan kepada Allah ta’ala” (HR. Bukhori no.
1059, Muslim no. 912)
Bagaimana tata cara shalat gerhana?
Shalat gerhana dilakukan sebanyak dua raka’at dan ini
berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun, para ulama berselisih mengenai tata
caranya.
Ada yang mengatakan bahwa shalat gerhana dilakukan
sebagaimana shalat sunnah biasa, dengan dua raka’at dan setiap raka’at ada
sekali ruku’, dua kali sujud. Ada juga yang berpendapat bahwa shalat gerhana
dilakukan dengan dua raka’at dan setiap raka’at ada dua kali ruku’, dua kali
sujud. Pendapat yang terakhir inilah yang lebih kuat sebagaimana yang dipilih
oleh mayoritas ulama. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1: 435-437)
Hal ini berdasarkan hadits-hadits tegas yang telah
disebutkan:
“Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan bahwa pada zaman Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari. Beliau lalu
mengutus seseorang untuk menyeru ‘ASH SHALATU JAMI’AH’ (mari kita lakukan
shalat berjama’ah). Orang-orang lantas berkumpul. Nabi lalu maju dan bertakbir.
Beliau melakukan empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua raka’at. (HR.
Muslim no. 901)
“Aisyah menuturkan bahwa gerhana matahari pernah terjadi
pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bangkit dan mengimami manusia dan beliau memanjangkan
berdiri. Kemuadian beliau ruku’ dan memperpanjang ruku’nya. Kemudian beliau
berdiri lagi dan memperpanjang berdiri tersebut namun lebih singkat dari
berdiri yang sebelumnya. Kemudian beliau ruku’ kembali dan memperpanjang ruku’
tersebut namun lebih singkat dari ruku’ yang sebelumnya. Kemudian beliau sujud
dan memperpanjang sujud tersebut. Pada raka’at berikutnya beliau mengerjakannya
seperti raka’at pertama. Lantas beliau beranjak (usai mengerjakan shalat tadi),
sedangkan matahari telah nampak.” (HR. Bukhari, no. 1044)
Ringkasnya, tata cara shalat gerhana -sama seperti shalat
biasa dan bacaannya pun sama-, urutannya sebagai berikut.
[1] Berniat di dalam hati
[2] Takbiratul ihram.
[3] Membaca do’a istiftah dan berta’awudz, kemudian membaca
surat Al Fatihah dan membaca surat yang panjang (seperti surat Al Baqarah)
sambil dijaherkan (dikeraskan suaranya, bukan lirih) sebagaimana terdapat dalam
hadits Aisyah:
جَهَرَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – فِى صَلاَةِ
الْخُسُوفِ بِقِرَاءَتِهِ
“Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menjaherkan bacaannya
ketika shalat gerhana.” (HR. Bukhari no. 1065 dan Muslim no. 901)
[4] Kemudian ruku’ sambil memanjangkannya.
[5] Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal) sambil mengucapkan
’SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, RABBANA WA LAKAL HAMD’
[6] Setelah i’tidal ini tidak langsung sujud, namun
dilanjutkan dengan membaca surat Al Fatihah dan surat yang panjang. Berdiri
yang kedua ini lebih singkat dari yang pertama.
[7] Kemudian ruku’ kembali (ruku’ kedua) yang panjangnya
lebih pendek dari ruku’ sebelumnya.
[8] Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal).
[9] Kemudian sujud yang panjangnya sebagaimana ruku’, lalu duduk
di antara dua sujud kemudian sujud kembali.
[10] Kemudian bangkit dari sujud lalu mengerjakan raka’at
kedua sebagaimana raka’at pertama hanya saja bacaan dan gerakan-gerakannya
lebih singkat dari sebelumnya.
[11] Tasyahud.
[12] Salam.
[13] Khutbah
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum
khutbah pada shalat gerhana.
1. Disyariatkan Khutbah
Menurut pendapat As-Syafi'iyah, dalam shalat gerhana
disyariatkan untuk disampaikan khutbah di dalamnya. Khutbahnya seperti layaknya
khutbah Idul Fithri dan Idul Adha dan juga khutbah Jumat.
Dalilnya adalah hadits Aisyah ra berikut ini :
أَنَّ النَّبِيَّ
لَمَّا فَرَغَ مِنَ الصَّلاَةِ قَامَ وَخَطَبَ النَّاسَ فَحَمِدَ اللَّهَ
وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَال : إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ
آيَاتِ اللَّهِ عَزَّ وَجَل لاَ يُخْسَفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ
فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
Dari Aisyah ra berkata,"Sesungguhnya ketika Nabi SAW
selesai dari shalatnya, beliau berdiri dan berkhutbah di hadapan manusia dengan
memuji Allah, kemudian bersabda, "Sesungguhnya matahari dan bulan adalah
sebuah tanda dari tanda-tanda Allah SWT. Keduanya tidak menjadi gerhana
disebabkan kematian seseorang atau kelahirannya. Bila kalian mendapati gerhana,
maka lakukanlah shalat dan berdoalah. (HR. Bukhari Muslim)
Dalam khutbah itu Rasulullah SAW menganjurkan untuk
bertaubat dari dosa serta untuk mengerjakan kebajikan dengan bersedekah, doa
dan istighfar (minta ampun).
2. Tidak Disyariatkan Khutbah
Sedangkan Al-Malikiyah mengatakan bahwa dalam shalat ini disunnahkan
untuk diberikan peringatan (al-wa'zh) kepada para jamaah yang hadir setelah
shalat, namun bukan berbentuk khutbah formal di mimbar.
Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah juga tidak mengatakan bahwa
dalam shalat gerhana ada khutbah, sebab pembicaraan Nabi SAW setelah shalat
dianggap oleh mereka sekedar memberikan penjelasan tentang hal itu.
Dasar pendapat mereka adalah sabda Nabi SAW
فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا
وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
Bila kalian mendapati gerhana, maka lakukanlah shalat dan
berdoalah. (HR. Bukhari Muslim)
Dalam hadits ini Nabi SAW tidak memerintahkan untuk
disampaikannya khutbah secara khusus. Perintah beliau hanya untuk shalat saja
tanpa menyebut khutbah.
Semoga bermanfaat
(Dari berbagai
sumber)
terimakasih infonnya sangat bermanfaat sekali
BalasHapusberita hankam